Hampir semua pembaca akan berpikir negatif tentang ganja. Pemerintah Indonesia sendiri memasukkan ganja dalam golongan I di undang-undang No.35 tahun 2009 tentang narkotika. Karenanya, pengguna ganja di Indonesia bisa dijerat oleh hukum yang berlaku. Sebagai informasi bahwa penggolongan jenis-jenis narkoba yaitu salah satunya adalah narkotika, ganja termasuk dalam narkotika golongan I bersama heroin dan kokain. Namun ketua yayasan sativa nusantara, Inang winarso menegaskan bahwa ganja dalah tanaman yang bermanfaat. Sehingga ia menilai penggolongan ganja sebagai narkotika tak memiliki bukti ilmiah sama sekali. Ketua yayasan sativa nusantara (maret), inang menyebutkan padahal tidak ada satupun dokumen yang dijadikan lampiran ataupun naskah akademik atau penelitian dalam UU No 35 Tahun 2009, sehingga hanya berdasarkan mitos. Padahal, kata dia, ganja adalah sebuah tanaman, layaknya jahe dan herbal lainnya yang diciptakan Tuhan dengan tujuan tertentu.
Fidelis ari sudawanto 12 juli 2017 menjalani sidang lanjutan di pengadilan negeri sanggau Kalimantan barat. Dia terbukti memiliki dan menanam ganja untuk pengobatan kanker yang derita oleh istrinya. Dalam sidang tersebut terbukti hanya pasal 112(2) UU No 35 tahun 2009 yang ditujukan kepada fidelis. Yang berbunyi “dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan 1 dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon, pelaku dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5(lima) tahun dan paling 20(duapuluh) tahun dan dipidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah 1/3”. Namun tim JPU hanya bisa menuntut pidana selama 5 bulan penjara saja. Tim jaksa menilai, selain fakta tentang penggunaan medis yang dapat dibuktikan di kasus fidelis ini,tuntutan kepada fidelis juga dipengaruhi oleh keterangan ahli pidana Dr. Hasyim Azizurrahman, SH, MM dekan fakultas hukum universitas tanjungpura, Pontianak. Yang salah satu keterangnnya adalah implementasi UU Narkotika tidak boleh lepas dari pertimbangan-pertimbangan yang membentuknya, yaitu “meningkatkan derajat kesehatan masyarakat”.
Diketahui, fidelis merupakan suami yang terbukti menanam ganja setelah membaca banyak hal mengenai obat bagi penyakit istrinya. Meski awalnya ragu, namun karena kondisi istrnya yang makin menurun dan terbatasnya biaya serta tidak adanya bantuan dari pemerintah, membuat fidelis mengambil langkah frontal menanam puluhan batang pohon ganja tersebut. Sialnya, BNN telah menangkap dulu fidelis meski tak terbukti mengonsumsi ganja yang ditanamnya tersebut, namun hal itu harus dibayar mahal olehnya karena yeni sang istri keburu berpulang akibat 32 hari tak mendapat asupan obat yang biasa diracikkan oleh suaminya tersebut. LGN (lingkar ganja nusantara) berharap ada langkah nyata dari pemerintah Indonesia untuk mengakomodir warga negaranya yang ingin menggunakan ganja sebagai terapi kesehatan, seperti yang dilakukan fidelis terhadap almarhum istrinya. Dhira narayana, ketua LGN mengatakan pemerintah harus memprioritaskan revisi UU Narkotika terutama yang mengatur ganja untuk pengobatan. Langkah sederhana yang paling mudah dan murah untuk dilakukan pemerintah pusat adalah menjalanakan MoU riset ganja antara yayasan Sativa Nusantara dengan Kemenkes RI. Secara teori, kita bisa mati karena jumlah THC (tetra hydro canabiol) pada senyawa ganja yang sangat banyak, tetapi pada dasarnya itu tidak mungkin terjadi.
Secara ilmiah kita harus mengkonsumsi ganja sekitar 680 kg ganja dalam waku 15 menit untuk mati karena overdosis ganja, untuk mereka yang mengasumsikan bahwa ganja memeiliki THC di dalamnya. CBD(cannabidiol) bahkan tidak memiliki dosis yang mematikan. Dalam sebuah penelitian pada tahun 2012 yang diterbitkan dalam British Journal of Pharmacology, CBD terbukti efektif mengatasi beberapa jenis mual termasuk mual dan muntah akibat rangsangan dari luar tubuh, namun sejauh ini belum efektif pada mual dan muntah yang disebabkan karena mabuk perjalanan. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa senyawa aktif dalam ganja mengaktifkan neurotransmiter pada otak yang mengurangi sensasi mual. Penelitian lebih lanjut sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi kombinasi, dosis, dan interaksi obat yang tepat yang digunakan untuk CINV dan juga jenis mual lainnya. Sayangnya, ganja belum menjadi bagian dari standar global dan pedoman praktik klinis untuk Onkologi, karena ganja medis masih ilegal di beberapa negara, Pasien yang ingin mendapatkan perawatan pasca kemoterapi hanya dapat merasakannya di negara yang telah menyetujui penggunaan ganja medis. Apalagi direktur akedemik di pusat penelitian ganja university of Sydney, MCgregor, bahkan menyatakan jika harus ada perbaikan persepsi ganja sebagai obat dan kaitannya dengan para pengguna manfaatnya, serta stigma buruk yang kerap diterima mereka selama ini. Apalagi, dunia kedokteran di Australia telah mampu mereduksi ganja yang dimaksudkan untuk tujuan medis, agar para pasien tak perlu distigmakan dengan para pengguna ganja rekreasional, yang mengonsumsi ganja untuk tujuan relaksasi. Dengan adanya hasil penelitian positif tanaman ganja terhadap pengobatan yang terus meningkat dewasa ini, Grand View Research, sebuah perusahaan analis dari Amerika Serikat menilai jika nilai bisnis ganja medis Australia di pasar global diperkirakan akan mencapai US$55,8 miliar pada tahun 2025, atau setara dengan Amerika Serikat, Kanada, dan Israel yang akan memimpin pasar tersebut. Bayangkan jika hal ini terjadi pada Negara Kesatuan Republik Indonesia, neraca ekonomi Negara kita tidak akan mengalami kemerosotan karena menjadikan ganja medis sebagai bahan utama untuk memperkuat ekonomi bangsa secara umum, dan secara khsusus dapat “meningkatkan derajat kesehatan masyarakat” terutama para pengidap kanker di Negara kita dengan kemampuan ekonomi yang seadanya.
Di sinilah tantangan peran petugas promosi kesehatan atau Sarjana Kesehatan Masyarakat yang hampir dilema akibat masih abu-abunya hukum undang-undang di Negara kita. Peran promosi kesehatan/SKM salah satunya adalah dapat mengadvokasi undang-undang yang berkaitan dengan derajat kesehatan masyarakat, advokasi akan menjadi terhambat karena stigma yang melekat di masyarakat kita sifatnya negatif atas ganja itu sendiri, sedangkan di sisi lain peran promosi kesehatan/SKM sangat berperan penting dalam melakukan upaya-upaya advokasi dalam mengawal dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di bidang advokasi pemerintah dan undang-undang terkait mulai dari tingkat masyarakat hingga ke jajaran parlemen pembuat kebijakan undang-undang.
Riset medis mengatakan merokok tembakau berbahaya buat kesehatan, tetapi kajian kebudayaan menunjukkan menghisap tembakau sudah menjadi adat nenek moyang kita. Di Indonesia, rokok menjadi budaya yang dilestarikan dan tidak jarang diturunkan dari ayah ke anak, yang membenci rokok mau tidak mau harus menerima keberadaan tersebut. Suka tidak suka, asap rokok yang bau busuk itu tercium wangi di neraca Negara kita Indonesia. Tembakau dengan segala kelemahan dan kelebihannya bisa dimaklumi, dimaafkan, dikelola menjadi devisa, bahkan yang terbaru terjadi saaat ini adalah cukai rokok menyumbang pendapatan Negara tertinggi dan dapat menutup defisit Negara kita.
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang identik dengan jaminan kesehatan namun bertolak belakang dengan upaya yang digencarkan oleh petugas promosi kesehatan/SKM untuk berhenti dan larangan merokok. Bahkan peran petugas promosi kesehatan/SKM di tingkat pusatlah yang melakukan advokasi atas terciptanya undang-undang kebijakan KTR(kawasan tanpa rokok). Tanaman ganja seharusnya sudah dikelola menjadi industri, tapi dikursusnya selalu dikebiri, akankah ini yang disebut ironi?
Mengutip pernyataan terakhir dari ketua LGN, jangan ada tanaman ganja yang tersisa, pastikan semua jadi devisa. Daripada dibakar, lebih baik ekspor ganja keluar negeri. Rawat tanaman ganja, jual sebagai obat, ekonomi kuat! Negara hebat!. Mari kita menulis, menggambar, mecetak di tempat-tempat yang bisa dibaca dan menjadi edukasi terbuka.
Saya kira untuk opini kali ini, jika untuk semuanya, ada kontroversi(khususnya tembakau), kenapa ganja hanya kontra?
opini ini pernah di sampaikan oleh penulis saat mewakili Puskesmas mengikuti pelatihan jurnalistik di Radar Malang
oleh : Abdul Latif, S.KM